Senja mulai tiba, aku bergegas ke tempat biasa kita bermain untuk berdiskusi dengan teman-teman seperjuangan. Begitu diskusi kita sudah berjalan sekitar 2 jam, mulai muncul pertanyaan yang menurutku agak penting dan mendalam maknanya.
"Kenapa para generasi muda khususnya di Indonesia begitu ditekan untuk cepat menikah??" Bukannya pernikahan itu adalah soal kesiapan komitmen juga kesetiaan dan hubungan yang mengikat sehidup semati dalam menjalani hidup ini?
Saya mencoba melontarkan pertanyaan balik "memangnya apa yg sedang terjadi sekarang sehingga ada pertanyaan semacam itu? kawanku menjawab "tidak ada" sambil menatap kearah langit dengan raut wajah penuh dengan ekspresi kekesalan. Lalu Saya terperangah dan merasa heran karena dengan pertanyaan itu tiba-tiba saya merasakan hal janggal yang menusuk relung jiwa.
Saya berpikir dan mencoba memutar ulang memory sambil menjelaskan tentang doktrinisasi yang telah merajalela di kalangan generasi muda di era kontemporer sehingga ketakutan tersebut telah menguasai dalam stigmanya dan selalu menghantui mereka. Dampaknya kehidupan mereka 'agak' terganggu dengan hal tersebut.
Apa menikah itu sebenarnya? Bukannya menikah adalah persoalan kesiapan dan komitmen antara dua insan untuk membangun masa depan yang cerah, harmonis dan tidak dilatarbelakangi oleh doktrinisasi budaya kuno tersebut? Generasi di era kontemporer seolah kehilangan kesadaran tentang doktrinisasi tersebut sehingga akhirnya mereka lupa akan pendefinisian tentang doktrinisasi budaya kuno itu.
Apakah proses pernikahan itu terjadi karena adanya dorongan nafsu belaka atau keinginan dan kesiapan antara kedua belah pihak?
Salah satu dampak negatif dari nikah muda yaitu dapat menghambat proses pertumbuhan dalam proses interaksi sosial kalau dilihat dari kacamata sosiologi. Bagi laki-laki terutama dalam perspektif budaya ketimuran mempunyai tanggung jawab untuk menafkahi keluarga (istri dan anak) dan istri mendapat tugas mengurusi 'urusan rumah'. Anak muda yang telah menikah tersebut tidak akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal tentang sosial maupun politik dalam suatu negara, pun perempuan yang ruang geraknya semakin terbatas karena konstruksi sosial. Padahal dewasa ini perempuan mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu negara. Itulah yang diperjuangkan oleh gerakan femenisme pada abad ke-18 yang berawal dari tulisannya Mary Wollstonecraft mengkritisi revolusi perancis pada waktu itu, tulisan yang berjudul "A Vindicarion of The Rights of Woman".
Tetapi akan berbeda kalau berkaca dari kacamata Agama, karena meskipun era teosentris atau yang identik dengan "The Dark Age" telah lama berlalu akan tetapi doktrinisasinya masih sangat kuat di era antroposentris.
Berapa banyak gerakan pemuda yang terhenti akibat dari doktrinisasi kuno tersebut? Pada akhirnya gerakan pemuda tunduk dihapadan gerakan kuno itu sendiri karna belum bisa membendung kerasnya arus globalisasi di era kontemporer.
Maka dari itu perlu kematangan pemikiran dan kesiapan mental dikalangan anak muda, sehingga siap menghadapi pesatnya arus globalisasi demi mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi.
Kenapa generasi muda di era kontemporer belum siap untuk menghadapi doktrinisasi kuno tersebut? Herber Mercuse seoarang Sosiolog Jerman dalam bukunya yang berjudul "One-Dimentional Man" menjelaskan bahwa "Bagaimana generasi muda saat ini bisa merekontruksi dirinya sebagai manusia sedangkan mereka telah kehilangan kesadaran? maka akibatnya mereka akan takut untuk menghadapi kerasnya dialektika".
Akhir kata "Hiduplah sesukamu namun ingatlah kau akan meninggal, cintailah siapapun yang kau sukai namun ingatlah engkau pasti akan berpisah dengannya..."
Marc & Ibudias,
Bandung, 20 Januari 2020.
Follow link :
coretanmarc92.blogspot.com, timornews.tl, liantimor.com
Contact via the Following Email :
marcossoaressilva92@gmail.com, timornewstl@gmail.com
Comments